Yakin?
Yakin aja apa yakin banget?
Udah tau belum kalo jadi scriptwriter TV itu nggak semudah keliatannya? Harus siap lho, dan banyak pantangannya. Sedikit gambaran nih soal yang harus-harus dan nggak boleh-nggak boleh.
NGGAK BOLEH IDEALIS
Yang namanya naskah alias skenario adalah kerja komunal, alias akan ada banyak kepala yang terlibat. Menulis naskah TV nggak akan sebebas menulis novel atau komik, jangan harap semua ide brilian lo akan diterima mentah-mentah, jangan ngambek kalo ternyata ide lo ditolak karena banyak alasan: nggak memungkinkan secara teknis, nggak ada pasarnya, nggak cocok untuk divisualkan, nggak boleh sama KPI dan lain-lain. Ingat: naskah yang lo tulis nanti akan diterjemahkan ke dalam gambar bergerak, jadi sesuatu yang bisa ditonton, jadi jelas akan ada batasan-batasannya.
Dan semua masukan yang sudah disepakati dalam meeting harus benar-benar lo masukin dalam naskah. Jangan bandel mempertahankan ide lo. Bisa-bisa lo nggak dipake lagi buat episode selanjutnya.
BUKAN LO YANG MENENTUKAN PASAR
Satu-satunya kesempatan lo menentukan pasar adalah ketika sebuah program hendak dibuat. Biasanya, dalam Production Book lo akan diminta untuk menentukan, siapa target audience dari program tersebut. Itupun belum tentu akan diapprove oleh televisi yang bersangkutan, karena biasanya mereka sudah punya audience sendiri.
TV-TV Indonesia biasa mengklasifikasikan penonton berdasarkan kondisi ekonomi (Socio-Economy Classification). Ada audiens kelas A dan B atau AB, yang untuk lebih gampangnya kita bilang aja kelas menengah keatas, dan kelas C,D, E atau menengah kebawah.
Kalo mereka bukan TV baru, most likely mereka udah punya loyal audience, maka jangan harap lo bisa dengan mudah memberikan ide yang cocoknya buat konsumsi audience kelas AB ke TV yang loyal audiencenya kelas CDE. Nggak Cuma sekali dua kali gue denger kalimat “Itu bagus banget sih, tapi kalo kita bikin nggak akan ditonton sama penonton kita.”
Ingat, TV-TV ini bikin sesuatu yang akan ditonton, bukan semata-mata yang bagus doang. Bagus kalo nggak ditonton percuma. Kenapa? Karena rating sharenya akan rendah, dan nggak ada pengiklan yang mau pasang iklan di sana. This is not always the case, tapi for most of the time begitu. Dan rating share itu BUKAN review mengenai kualitas program, BUKAN untuk menentukan program mana yang paling bagus, tapi untuk menentukan program mana yang PALING BANYAK ditonton. Banyak ditonton belum tentu bagus, dan bagus belum tentu banyak ditonton.
Jadi, kalo lo mau nulis naskah untuk TV, lo harus siap untuk nurutin maunya penonton yang tersedia. Ini jelas berbeda dengan menulis novel atau komik, yang bisa lo tentukan sendiri target readernya sesuka-suka lo.
SIAP BERANTEM
Sama siapa? SAMA SEMUA ORANG. Dulu waktu gue masih bekerja sebagai Script Editor yang juga Script Writer, berantem udah jadi makanan sehari-hari. Ngadepin penulis yang keras kepala mau mempertahankan idenya karena dia anggap itu oke, padahal nggak cocok untuk sebuah tayangan televisi; ngadepin Sutradara ngeselin yang hobi ngubah naskah, sampe ngadepin Produser karena gue yakin ide gue masih bisa dieksekusi. Berantemnya mulai dari skala kecil semacam adu argument (biasanya ada penulis kritis yang akan mempertahankan idenya, dan kalo dirasa masih bisa kita akan cari jalan tengahnya) sampe adu tereak yang berujung gue nangis karena kesel. Seringnya, gue akan tetap mempertahankan ide gue sampe ada yang bisa membuat gue mengerti kenapa sebaiknya ide itu tidak dijalankan.
Kalo lo orang yang menghindari konflik dan nggak outspoken, bisa stress sendiri karena lo terpaksa harus iya-iya aja padahal dalam hati maunya beda.
SIAP DICACI MAKI
Nggak cukup berantem sama tim sendiri, lo juga harus siap mental dicaci maki penonton. Apalagi viewers jaman jigeum, kata-katanya bisa lebih pedes daripada cocolan sambel. Terutama kalo lo menulis drama yang melibatkan cinta segitiga antara A dan B memperebutkan C. Nah, lo mesti siap-siap dicaci maki Team A kalo lo bikin A sedih, giliran lo bikin A bahagia, lo bakalan dicaci maki Team B karena giliran B yang sedih ngeliat A dan B bahagia.
Belum lagi ngadepin penonton yang suka halu dan egois, yang bilang “Pokoknya aku maunya C sama A! Kalo nggak aku nggak mau nonton lagi.”, yah, saat itu lo Cuma bakal bisa membatin: kasian deh Anda, cerita ini tidak dibuat untuk mengikuti kemauan Anda seorang yes.
SIAP KERJA RODI
Dunia broadcast itu dinamis dan cepet banget pergerakannya. Ketika lo masuk ke dalamnya, lo akan punya schedule yang harus ditepati demi kepentingan bersama. Ketika lo sudah berjanji akan kirim naskah besok siang jam dua belas, lo harus menepati janji tersebut, kecuali lo punya alasan lain, maka mintalah ijin pada tim produksi untuk menunda pengiriman naskah. Kalo ternyata nggak diijinin? Ya lo harus tetep mematuhi kata-kata lo di awal, meskipun itu berarti lo harus nggak tidur malam ini demi nyelesain naskah.
Ingat, kalo naskahnya belum ready, berarti tim produksi belum bisa nyiapin kebutuhan untuk syuting. Worst case scenario, bisa-bisa syuting batal gara-gara naskah nggak turun sesuai jadwal. Buat program yang jalan stripping alias tayang tiap hari atau lima hari dalam seminggu, ini bisa berakibat fatal.
Lo juga harus siap untuk brainstorming dari siang sampe tengah malam, harus siap dengan sejuta ide just in case apa yang lo tawarkan ternyata nggak cocok dengan yang mereka inginkan, harus bersedia memutar otak seharian.
Belum lagi kalo lo ketemu naskah yang harus direvisi beberapa jam menjelang syuting. Emang ada yang kaya gitu? Sering. Bukan mustahil kalo suatu waktu lo akan menemukan kasus dimana malamnya lo meeting, paginya revisian naskah harus udah selesai. Meaning: setelah lo mengalami meeting panjang dan beradu argumen, lo masih harus pulang dan merevisi naskah, kejar-kejaran dengan waktu supaya naskah bisa turun untuk dipakai syuting pagi harinya.
Bisa juga lo udah ngerjain semuanya sesuai deadline, tinggal leyeh-leyeh dan leha-leha, lalu tiba-tiba muncul kabar kalo apa yang udah lo tulis selama ini ternyata nggak diterima dengan baik sama penonton. Lo harus ngubah apa yang udah lo tulis, buat syuting secepat mungkin. Lo akan diminta datang meeting untuk ngebahas apa aja kira-kira perubahannya. Kalo dalam kasus stripping muncul kejadian kaya gini, ini bisa berarti mengubah ide besar cerita sampai ke ending, yang berarti lo harus mikirin lagi dari awal setelah berubah begini ceritanya mau seperti apa.
Kapan tidur? Kapan-kapan.
Are you prepared?
SIAP MAKAN ATI
Bahkan setelah lo melaksakan tugas lo dengan baik, lo masih harus siap makan ati melihat hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasi lo. Berbeda dengan novel yang for most of the time apa yang lo tulis itulah yang tercetak, output naskah lo akan sangat tergantung pada kondisi lapangan, kemampuan tim produksi menerjemahkan naskah, kualitas akting para pemeran sampai skill editor dalam menyambung adegan demi adegan.
Sebagai seorang penulis naskah, lo pasti akan punya ekspektasi dan bayangan sendiri, kaya apa kira-kira naskah lo ketika divisualisasikan. Jadi, jangan heran kalo lo harus banyak banget makan ati mulai gara-gara hal kecil semacam scoring yang nggak tepat (ini adegan baper kenapa scoringnya komedi gitu sih?) sampe hal-hal besar yang berpengaruh pada alur cerita kedepannya (Lah di sini harusnya si A sedih, kenapa masih cengengesan gitu ngeliat si B sama C? Bakal aneh dong kalo di scene selanjutnya dia datengin D dan cerita kalo dia patah hati? Dia bipolar apa gimana sedetik cengar-cengir detik lain nangis-nangis?!)
So, it's not all rainbow and unicorn.
Tapi kalo lo adalah orang yang bisa bertahan menghadapi itu semua, menulis naskah untuk TV adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. :D
Hmm, ternyata begini ya perjuangannya para scriptwriter TV.
ReplyDeleteNjir beneran mirip. Sumpah gue baru baca ini Det dan yang gue tulis baru murni curhatan gue aja.
ReplyDelete