Friday 24 February 2017

Living Life to the Fullest

Sebenar-benarnya nasehat emak tentang kehidupan adalah larangan beliau untuk menjudge orang, terutama yang tidak kita kenal secara baik.

Karena sesungguhnya yang berhak menjudge hanyalah hakim.

...
Enggak. ;_____;

Salah satu bagian tidak menyenangkan dari menjadi dewasa adalah ketika otak lo corrupted by pikiran-pikiran rumit yang kadang negatif tentang orang lain. Waktu kecil, kayanya kita nggak pernah overanalyzing lawan main kita. Yang kita analisa cuma ke mana kira-kira dia akan bergerak kalo lagi main galasin, atau seberapa tinggi kita harus melompat waktu lagi main karet.

Intinya, pikiran kita sewaktu kecil jauh tidak lebih kompleks dari kita yang sekarang ini.

Sepertinya, gue ini termasuk orang dewasa yang lurus-lurus aja pikirannya. Dalam arti, gue menganggap semua orang di dunia ini baik. Efek negatifnya, gue sering kecewa dan shock sendiri ketika menemukan fakta bahwa orang-orang yang gue anggap "baik" ini ternyata tidak sebaik yang gue pikirkan.

Dalam beberapa bulan terakhir, misalnya, gue kehilangan sosok "baik" beberapa orang. Mengecewakan, pastinya, karena selama ini gue memandang mereka sebagai orang-orang yang gue hormati, gue jadikan panutan dalam beberapa aspek. Muncullah pertanyaan "Kok tega ya?" di dalam benak gue.

Dan baru malam ini gue teringat nasehat pamungkas nyokap, "Jangan menjudge orang lain, terutama di lingkungan baru." Ini membukakan mata gue, dan membuat gue bertanya pada diri sendiri.

Memang seberapa baik gue mengenal mereka sampe gue bisa membuat judgement tentang mereka?

Orang yang kita temui tiap hari belum tentu lebih mengenal kita dibanding orang yang cuma sesekali menemui kita. Dekat dengan seseorang selama periode tertentu belum berarti kita bisa menilai mereka lebih baik dibanding orang lain yang lebih sebentar mengenal mereka. Selama ini, apa kita yakin kita betul-betul mengenal dan memahami orang-orang yang kita akui dekat dengan kita? Siapa yang bisa menjamin kalau apa yang ada di kepala kita benar-benar mereka, dan bukan bayangan yang kita bentuk berdasarkan persepsi yang kita miliki terhadap mereka?

Big question: ketika seseorang berubah, bagaimana lo bisa yakin kalau mereka "tidak lagi seperti dulu", dan bukannya "kembali seperti dulu"?

Bingung?
Wkwkwkwk.

Intinya, gue ngerasa gue nggak pantes ngejudge, karena gue nggak yakin gue bener-bener mengenal mereka yang sudah "mengecewakan" gue. Selalu ada dua sisi mata uang, kan? Dari sisi kita, mungkin yang kita lihat angka, dari sisi mereka, yang mereka lihat gambar. Dua-duanya sama-sama bagian dari uang. Tergantung gimana cara kita ngeliat aja.

 Susahnya di sini.

Selayaknya manusia normal, pasti ada keinginan untuk defense dan point out kesalahan orang lain. Inilah yang masih gue coba untuk lawan. Sulit. Banget. Tapi kalo udah mentok, satu-satunya cara ya tinggal dikembalikan ke Allah SWT. Dia Maha Tahu. Kalo otak udah nggak nyampe mikirnya, ya balikin aja ke Sang Pencipta.

Again, ini easier said than done. Tapi setidaknya gue sudah menemukan cara untuk melawan pikiran-pikiran negatif yang selama ini berenang-renang dalam otak gue.

Semoga bisa segera hilang...

No comments:

Post a Comment