Ini kisah tentang mantan terakhir yang akan gue ceritakan sebelum menutup buku permantanan gue.
Like I said, kegagalan dalam hubungan yang hampir berlangsung 5 tahun membawa dampak yang cukup signifikan dalam hidup gue. Kepercayaan gue kepada makhluk bernama pria mengalami penurunan drastis, dan secara tidak sadar gue menganggap mereka sebagai 'pengganggu'.
Beberapa bulan pasca putus, setiap kali gue tau ada cowok yang berniat mendekati gue, gue langsung menjauh setelah ngasih warning, "Nggak usah repot-repot deketin gue, gue nggak berniat pacaran dulu." Sungguh, rasanya takut membayangkan kalo gue harus berada dalam suatu hubungan lagi.
Sementara itu orang-orang terdekat berusaha mengencourage gue untuk cepat-cepat cari yang baru. Tujuan mereka baik, gue tau, tapi luka gue saat itu nggak akan semata-mata terus sembuh dengan cara menjalin hubungan dengan laki-laki lain yang gue nggak yakin gue sayang. Hati gue saat itu hancur, dan gue berjanji sama diri sendiri, gue nggak akan memberikan hati yang hancur ini pada siapapun, karena nggak akan adil buat si pria. Kalo kelak gue menjalin hubungan lagi, gue mau kondisi gue udah stabil, nggak masih tiba-tiba nangis tiap beberapa jam sekali. Kenyataannya, sampai hampir dua tahun gue belum juga 'sembuh'. Well, emang sih ada faktor lain yang juga ikut berpengaruh dalam hal ini, bukan semata-mata karena gue patah hati dan nggak bisa move on dari si Mantan.
Bukannya gue nggak usaha, bukannya gue nggak mau menjalin hubungan lagi, tapi setiap kali gue mencoba mendekati cowok--atau menyambut niat mereka mendekati gue--ada ketakutan tertentu yang langsung muncul dalam diri gue tanpa gue tau sebabnya. Rasanya kaya berjalan tengah malam di tengah kabut yang tebal sendirian. Awalnya, ketakutan ini muncul ketika ada seorang cowok yang baru gue kenal terang-terangan PDKT sama gue. Gue kira reaksi gue adalah karena gue nggak mengenal si cowok, tapi kemudian hal yang sama terjadi ketika gue nyoba untuk memberi kesempatan pada Buah, si Senpai, dan pada akhirnya salah seorang senior kantor.
Dia seorang teman dan senior yang baik, enak diajak seru-seruan. Sebagai rekan kerja, gue sama sekali nggak bermasalah sama dia, kami nyambung. Kemudian dia ngajak pergi berdua, dan gue mengiyakan, karena gue berusaha untuk memaksa diri gue untuk kembali membuka hati. Yang terjadi, sepanjang perjalanan, otak gue berasa ditutupi kabut tebal. Gue sama sekali nggak bisa enjoy. Gue ketakutan. Dan semenjak itu gue berhenti merespon kode si senior, gue menolak dengan halus tiap ajakannya.
Sejak saat itu, gue selalu kirim sinyal ke cowok-cowok yang gue tau sedang mendekati gue agar mereka tau di mana posisi mereka. Gue nggak bermasalah berteman dengan mereka, gue bisa deket dengan mereka, tapi nggak ada niatan buat menjalin hubungan yang lebih dari itu. Sering juga gue nggak ngerasa kalo gue lagi dideketin, sehingga terkesan ngeladenin, padahal guenya cuma bersikap sebagaimana gue biasanya. Sampai akhirnya suatu saat gue dibilangin sama salah seorang teman. "Cowok tuh nggak mungkin ngajak cewek makan kalo nggak ada apa-apa." mungkin saking hopelessnya dia sama ketidakpekaan gue.
Yang ada di pikiran gue, yaelah, sedih amat, masa gue nggak bisa punya temen cowok yang bisa gue ajak makan nonton dan sebagainya tanpa harus dikira naksir dia?
Saat itulah, ada seorang cowok yang tiba-tiba hadir dalam hidup gue dan mematahkan kutukan otak berkabut ini.
Gue sama sekali nggak pernah memperhatikan cowok ini secara khusus, karena gue emang nggak tertarik pada awalnya. But then, karena satu dan lain hal, kami diharuskan untuk menghabiskan waktu bersama-sama, ditambah lagi komunikasi juga terjalin secara intense. Saat itulah gue sadar, gue nggak punya ketakutan terhadap orang ini. Kehadiran si cowok ini sepertinya berpengaruh pada cowok-cowok lainnya, karena ketika akhirnya gue bertemu dengan si duda beranak dua dan memutuskan untuk mengejar dia, ketakutan itu juga nggak ada, dan baru timbul lagi di pertemuan terakhir gue dengan si Duda.
Setelah gue memutuskan untuk meninggalkan si Duda, gue bertanya-tanya pada diri gue sendiri. Kenapa ketakutan gue terhadap si Duda nggak muncul dari awal? Kenapa gue ngerasain constant excitement dengan si Duda kalau gue pada akhirnya tetap takut sama dia?
Jawabannya gue temukan belum lama ini.
Semua karena kehadiran si cowok. Mungkin ini terdengar bego, tapi sepertinya gue jatuh cinta pada orang yang salah. Ya, gue bener jatuh cinta, tapi bukan sama si Duda, melainkan sama si cowok yang memang selalu ada buat gue ini. Gue mengira gue jatuh cinta sama si Duda karena euphoria, seperti yang temen gue bilang, dan karena si Duda-lah yang gue kejar. Sementara itu, ketika gue terfokus pada perasaan yang gue kira cinta ini pada si Duda, komunikasi dengan cowok ini juga nggak pernah berhenti.
Well, dulu gue nggak pernah percaya sama kisah cinta segitiga yang ujung-ujungnya si peran utama sadar kalo dia ternyata bukan mencintai cowoknya, tapi sahabatnya sendiri. Setelah ngalamin sendiri, gue bisa bilang ternyata hal itu mungkin terjadi.
Secara kriteria, kalo ditelusuri dari list permantanan gue, sebenernya si cowok bukanlah tipe yang akan gue pacarin. Gue biasanya tertarik sama cowok chibi yang cute, bad boy dan carefree, atau cowok ganteng dan lurus yang terlalu baik, atau cowok yang biasa-biasa aja dan tidak spesial. Cowok ini nggak termasuk kriteria ketiganya. Sampai sekarangpun gue bertanya-tanya kenapa gue bisa naksir dia.
Singkat kata, kami pun jadian. Cowok inilah yang berhasil membuat gue mau kembali memulai hubungan lagi setelah sekian lama, melawan semua ketakutan gue dengan sebegitu mudahnya, dan mengingatkan gue lagi gimana rasanya jatuh cinta.
Hubungan kami nggak berlangsung lama. Sekarang dia udah jadi mantan gue. Mantan yang sampe kapanpun akan tetap gue sayang.
Yep, him, my Pillow.
Cendekia.
Sang Mantan Terindah,
karena sekarang dia bukan lagi pacar gue, tapi udah jadi calon suami gue.
Soon, gue akan jadi wanita yang paling berbahagia karena mendapatkan cowok sebaik dia sebagai suami gue.
Hei, Cendekia.
Terima kasih karena telah datang dan menyembuhkan aku.
I love you. :)
No comments:
Post a Comment