Wednesday, 18 April 2018
"Mending Nikah, Halal, daripada Zina."
Akhir-akhir ini, entah kenapa gue rasanya banyak bener ngebaca komentar orang yang berbunyi, "Mending nikah, halal, daripada zina."
Biasanya lalu diikuti penjelasan panjang mengenai hukumnya menikah, keutamaan menikah dari sudut pandang Islam, dll dst dsb.
Dan orang-orang itu tetep keukeuh, apapun kasusnya, yang penting nikah over zina.
Bahkan ketika yang nikah anak di bawah umur, tetep, yang penting nikah, daripada zina.
Terus rasanya gue jadi pengen ngerujak beton.
Kenapa sih, sesuatu yang sesakral pernikahan itu disederhanakan jadi semata-mata 'pelindung' agar kita nggak berzina? Emang satu-satunya cara menghindari zina itu dengan menikah? Kenapa nggak dengan menghindari berdua-duaan di dalam ruangan dengan yang bukan mahram? Kenapa nggak dengan menundukkan pandangan? Kenapa nggak dengan mengingat ada Allah SWT yang Maha Melihat dan Maha Tau? Kenapa nggak dengan mengingat zina itu dosa lho, heeeeey.
Emangnya kalo udah nikah, terus langsung autoterhindar dari zina?
Ya kagak.
Mau kita nikah atau nggak nikah, kemungkinan untuk berzina tetap aja ada. Apalagi kalo iman kita sebatas iman-imanan belaka.
Lagipula, ada lebih banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika kita memutuskan untuk menikah daripada semata-mata terhindar dari zina.
Sedikit di antaranya nih:
Kita udah yakin siap berumahtangga?
Kita udah yakin bisa bertanggungjawab terhadap pasangan?
Dua pertanyaan itu aja, kalo dibedah, bakalan pecah lagi jadi banyak poin.
Siap berumahtangga aja dulu deh. Itu bisa meliputi: kesiapan mental untuk menjadi seorang istri yang taat dan mengabdi pada suami; atau bagi seorang suami menjadi pemimpin bagi keluarganya, pemimpin yang akan bertanggungjawab dunia akhirat terhadap semua yang dilakukan oleh istri dan anak-anaknya kelak.
Bertanggungjawab terhadap pasangan? Kalo sebagai suami, simpelnya adalah memberikan nafkah lahir batin yang cukup bagi istri. Nafkah lahir jelas dong, nafkah batin? Nggak sebatas ngasih jatah kasur, tapi juga mendidik, memberikan ilmu agama agar si istri bisa menjadi istri yang sesuai dengan yang disyariatkan.
Pernikahan itu sesuatu yang kompleks,
sesuatu yang menyatukan bukan hanya kita dan pasangan kita, tapi juga keluarga kita dan keluarga pasangan kita. Meskipun benar bahwa rumah tangga kita sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita dan pasangan, kita juga harus siap mental untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan akan adanya campur tangan keluarga kita maupun keluarga pasangan dalam kehidupan kita, dan ada kalanya campur tangan itu akan terasa tidak menyenangkan.
Saat itu terjadi, apa kita udah siap?
Pernikahan itu sesuatu yang kompleks,
sesuatu yang akan menentukan bukan hanya nasib kita dan pasangan kita, tapi juga nasib anak-anak kita kelak. Ingat, anak-anak itu TIDAK minta dilahirkan di dunia ini. Kita dan pasangan kita lah yang bertanggungjawab penuh atas keberadaan mereka di dunia ini. Dan ingat, anak-anak ini punya hak untuk mendapatkan yang terbaik yang bisa kita usahakan, baik dari segi lingkungan tempat tinggal, pendidikan, makanan, kesehatan, dan banyak lagi.
Now I speak to you, orang-orang yang berpendapat nikah over zina:
Lantas, kalo kehidupan pernikahan yang segitu kompleksnya dimulai semata-mata hanya untuk menghindari zina tanpa didukung adanya kesiapan mental dan pemahaman akan hal-hal di atas, lo kira akan jadi apa pernikahan tersebut?
Dan bukan cuma zina, sebetulnya, ini juga berlaku untuk lo-lo semua yang sedang berpikir untuk menikah tapi bukan karena mampu dan niat, tapi karena takut dicap nggak laku, karena udah ditanyain mulu kapan kawin sama orang-orang di sekitar lo, karena malas kerja keras buat mencukupi kehidupan lo, dan sederetan alasan lain yang membuat lo berpikir "Ya udahlah gue nikah aja."
Nope.
Menikahlah saat lo emang ngerasa sudah siap dan sudah mampu untuk menikah.
Mampu, paling nggak dalam hal niat, niatnya yang bener, dan basic financial, terutama untuk para suami. Bukan berarti kita perhitungan ya, tapi ketika lo sudah menikah, lo punya tanggungjawab untuk menafkahi istri lo. Belum lagi kalo ada anak. Nggak harus berlebih, yang penting istri lo nggak kelaparan setiap saat. Kalo udah ada niat yang bener, sedikitnya akan ada usaha untuk melaksanakannya dengan baik. Bukan lagi "yang penting nikah".
Sampe sini mungkin ada yang akan langsung ngeluarin ayat-ayat buat mengcounter opini gue tersebut. Nah, sebelum lo capek-capek posting ayat di kolom komentar, mending gue ngomong duluan deh ya: nggak diragukan lagi, menikah itu memang menyempurnakan separuh ibadah.
Menikah itu ladang pahala.
Menikah itu sunnah, dianjurkan.
Itu gue yakin kita semua udah pada tau.
Tapi tunggu dulu, nikah yang gimana yang ladang pahala?
Nikah yang gimana yang sunnah?
Nikah yang gimana yang menyempurnakan separuh ibadah?
Ketika kita menikah lalu punya anak banyak dan nggak bisa menyokong mereka secara finansial, terus malah mempekerjakan anak-anak kita di usia dini, nyuruh mereka ngemis atau ngamen, apa itu ladang pahala?
Enggak.
Ketika kita menikah tapi lebih mentingin kongkow bareng sama temen-temen kita padahal pasangan kita lagi sakit di rumah, apa itu ladang pahala?
Enggak.
Ketika kita menikah tapi tiap kali bermasalah sama pasangan terus kita update status sampe para penghuni Facebook yang budiman tau aib pasangan kita dan apa permasalahan kita hingga ke detil-detilnya, apa itu ladang pahala?
Enggak.
Ketika kita menikah tapi masih berantem di depan anak-anak kita tanpa memikirkan efek buruknya pada kondisi psikis mereka kelak, apa itu ladang pahala?
Enggak.
Ketika kita menikah tapi masih nekat bawa bayi kita ke bioskop, terus ketika dia nangis di tengah film kita tetep keukeuh nggak mau keluar dan masih berusaha mendiamkan dia sambil terus nonton, apa itu ladang pahala?
ENGGAK.
ENGGAK.
ENGGAK.
ENGGAK.
E-N-G-G-A-K.
Yang ladang pahala itu bukan sebatas saat kita dan pasangan mengucapkan ijab qabul ataupun bertukar janji sehidup semati di depan penghulu atau pendeta. BUKAN. Yang ladang pahala itu ya kehidupan setelah pernikahan, bagaimana sikap kita terhadap pasangan dan bagaimana cara kita menghadapi tiap masalah yang hadir dalam rumah tangga. ITU. Kalo kita menghadapinya sesuai dengan yang diajarkan oleh agama, ya bener itu akan jadi ladang pahala. Tapi kalo kita menghadapinya seenak udel, kaya contoh-contoh kasus di atas, DI MANE LADANG PAHALANYA?
Pernah denger dong kasus ibu ngebunuh anaknya sendiri gara-gara stress suaminya pergi entah ke mana nggak pulang-pulang?
Suami/istri selingkuh? Alasannya istri nggak mau ngasih jatah ke suami padahal suaminya lagi pengen?
KDRT gara-gara pusing mikirin masalah finansial? Padahal istrinya cuma minta beli beras buat makan, bukan minta beli lauk mewah atau makan di Skye.
Cerai gara-gara keseringan berantem? Padahal berantemnya sesepele karena masalah si suami nggak suka istrinya masih kontak-kontakan sama mantan di FB yang akhirnya merembet ke masalah-masalah lain?
Orang tua bawa bayi ke bioskop? Padahal itu beresiko berdampak buruk pada kondisi pendengaran si bayi?
Orang tua yang ketika anaknya ditegur karena merusakkan properti milik orang lain terus malah marah dan bilang, "Ya udah sih namanya juga anak-anak"? Padahal jelas-jelas anaknya yang udah merugikan orang lain?
Itu boleh dipertanyakan ya kesiapan mentalnya saat dulu memutuskan menikah.
Mutusin nikah kok nggak siap memahami istri.
Mutusin nikah kok nggak siap menuruti suami.
Mutusin punya anak kok nggak siap mengorbankan kesenangan pribadi demi kepentingan anak.
Mutusin punya anak kok nggak siap mendidik anak.
Bukan berarti tiap kehidupan pernikahan kita harus adem ayem terus tanpa ada angin-angin atau prahara-prahara, nope. Tapi gini loh, ibarat kita mau perjalanan jauh naik mobil, kita pasti akan memastikan dulu kan kondisi mobil kita kaya apa, layak jalan nggak, bannya cukup angin nggak, wiper dan lampunya berfungsi baik nggak, kalo nanti bagian ininya kenapa-kenapa gimana cara mengatasinya. Bukannya jalan dulu, terus ketika tiba-tiba di tengah jalan mobilnya bermasalah kita bengong-bengong nggak tau gimana mengatasinya, kan? Nah, gitu kira-kira analoginya.
Sesuatu yang sudah direncanakan dengan cermat aja bisa dihantam sesuatu yang gak terduga kok. Artinya, bahkan mereka-mereka yang sudah membekali diri dan menyiapkan mental untuk menikah juga PASTI akan menemui masalah demi masalah ketika sudah memasuki kehidupan berumahtangga. Lha ini, mau dengan sebuta-butanya berumahtangga berbekal "yang penting nikah"?
Yak.
Kembali ke judul.
Herannya, ketika ada anak SD/SMP/SMA yang pacaran ber-"mama papa", hampir semua akan menghujat dengan kalimat "Duh, gini nih kids jaman now, dewasa sebelum waktunya.", "Gaya lu Tong! Belajar dulu yang rajin.", or "Kencing belum lurus aja udah mama-mamaan." LOL. Tapi, ketika ada anak SD/SMP/SMA nikah muda, nggak sedikit yang berkomentar, "Mending nikah, halal, daripada zina."
Like...
Wuuuuuuut?
Whyyyyy?
Can not comprehend.
Padahal dua kasus itu hampir sama, kan? Sama-sama masih belia, mentalitas mereka mungkin juga nggak jauh berbeda, bedanya yang satu pacaran dengan gaya kedewasa-dewasaan, yang satu nikah beneran. Kenapa gue jadi mikir ini semua tentang yang penting halal, sih?
Mengulang postingan FB gue beberapa waktu lalu, mudah-mudahan makin banyak yang menikah karena memang dirinya sendiri merasa sudah siap dan niatnya sudah sesuai dengan apa yang disyariatkan. Bukan semata-mata karena pengen ena-ena halal, daripada zina, daripada nggak laku, diojok-ojokin keluarga dan tetangga, dll. Nggak masalah mau nikah muda atau telat, yang penting SUDAH SIAP. Kalo terus lo ngerasa menikah telat akan jadi masalah buat lo, ya SIAPKAN DIRI DULU UNTUK MENIKAH.
Karena yang namanya menikah itu, Ladies and Gents, sama sekali tidak sesederhana menahan hawa nafsu, atau menebalkan telinga terhadap omongan orang.
TIDAK, Guys.
Marriage comes with great responsibility.
Edit: baru tau kalo ternyata postingan FB gue soal ini banyak juga yang ngeshare. :O
Labels:
opinion
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment