Kerjaan bumil yang udah susah ngapa-ngapain adalah mikir dan komentar.
Wkwkwkwk.
Eniwei, kayanya emang tiap hari ada aja yang bikin gue mikirin tentang manusia Indonesia. Salah satunya kaya judul postingan ini, mental raja.
Pemikiran soal mental manusia Indonesia yang seperti ini emang udah beberapa lama mengendap di otak. Sempet juga sih ngobrol soal ini sama Pillow. Tapi, yang menjadi trigger untuk akhirnya mempost secara khusus soal ini adalah percakapan bersama teman bertukar pikiran tercinta via direct message instagram.
Beberapa waktu lalu gue bilang sama Pillow begini:
"Yah, orang-orang Indonesia itu sebenernya sangat menjiwai dan memahami prinsip ekonomi tau, Yah."
"Hah? Gimana?"
"Iya, dengan usaha sekecil-kecilnya, mereka mengharapkan hasil yang sebesar-besarnya."
Lalu, Mas Bantal ketawa.
Lho, iya lho.
Pengertian prinsip ekonomi kayanya satu-satunya materi yang masih tersimpan di otak gue setelah lebih dari dua belas tahun menyentuh pelajaran ekonomi untuk terakhir kalinya di kelas dua es em a. Mengutip Raisha Fatya dalam postingannya yang dimuat dalam blog.ruangguru.com, prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai:
1. Suatu cara bertindak yang mengusahakan untuk mendapatkan hasil sebesar mungkin dibandingkan biaya yang dikeluarkan;
2. Suatu cara bertindak yang mengusahakan untuk mendapatkan hasil tertentu dengan biaya seminimal mungkin.
Nah, cocok kan dengan ingatan gue?
Usaha minim, hasil maksimal.
Versi kasarnya: mau enak, usaha kurang.
Apa hubungannya sama mental Raja?
Kalo yang gue liat nih, to the certain extent, karakteristik usaha minim hasil maksimal itu dimiliki juga oleh orang-orang yang bermental Raja.
Sebenernya, istilah mental Raja ini adalah istilah versi gue untuk mental terjajah yang biasa disebut-sebut dimiliki oleh masyarakat kita. Kalo menurut I Dewa Gede Raka, Guru Besar ITB, sebagaimana dikutip dari sini, manusia yang punya mental terjajah memiliki ciri-ciri merasa inferior, tidak malu menadahkan tangan, menyerah pada keadaan dan tidak punya jati diri.
Gue merasa istilah mental terjajah udah kurang tepat, karena masyarakat bermental terjajah jaman jigeum itu justru merasa superior, mereka merasa HARUS didengar dan dituruti, padahal ya... Well, sikap mereka itu mungkin untuk menutupi inferioritas yang mereka miliki, tapi mereka nggak mau ngaku aja. Makanya, gue lebih suka menggunakan istilah mental Raja.
Kesamaan dari kedua mental ini, yaitu sama-sama nggak malu menadahkan tangan, alias minta dilayani, minta disuapin. Itu tuh, masih banyak orang kita yang mentalnya disuapin.
Sebagaimana disebutkan oleh teman bertukar pikiranku tercinta, mungkin metal begini memang ada hubungannya sama sistem pendidikan yang udah dijalankan bertahun-tahun di Indonesia.
Iya kan, dari dulu, paling enggak jaman gue deh, kita dibiasakan untuk menghapal dan menggunakan sesuatu yang sudah ada di buku pelajaran. Rumus, misalnya. Selama dua belas tahun gue belajar, satu-satunya guru yang ngasih tau gue darimana rumus ini dan itu berasal adalah guru les matematika yang juga tetangga gue, yaitu Pak Murdoko. Kalo sama beliau, bisa aja kita kaya lagi ngerjain soal-soal yang terlihat nongol out of nowhere, tapi ujung-ujungnya ternyata beliau lagi menjelaskan ke kita bagaimana rumus volume prisma terbentuk, misalnya. Kita jadi paham, oh, ternyata rumus kubus itu begitu karena asalnya dari sini dan sini. Ini penting, karena kalo kita udah memahami konsepnya dan dari mana rumus itu berasal, kapanpun kita lupa rumusnya, kita tinggal cari aja lagi sendiri, kan kita tau dari mana asalnya?
Ini jarang banget gue temukan dalam metode pengajaran guru-guru gue yang lain. Mereka rata-rata hanya akan menyodorkan rumus, kemudian memberikan contoh pemecahan soal yang menggunakan rumus tersebut. Ulangan juga gitu, kita dibiasakan untuk menghapal materi yang ada di dalam buku, menjawab sesuai dengan yang ada di dalam buku. Menghapal, menghapal, menghapal, tanpa ada jaminan kita betul-betul memahami.
Akibatnya, kita jadi terbiasa untuk mengambil, mencari dan menggunakan yang sudah ada, mengkopi, meniru, tapi minim menemukan, menciptakan, dan mengkreasikan. Satu-satunya mapel yang secara nyata mengajarkan kita untuk menciptakan dan mengkreasikan sesuatu adalah seni. Sisanya? Hapalan, hapalan, hapalan, more hapalan.
Ya pantes aja kalo manusia-manusianya tumbuh jadi orang yang bergantung sama yang udah ada, malas mencipta, bahkan malas mikir.
Contohnya banyak, kasus plagiasi yang kemaren misalnya, itu kan terjadi karena si plagiator malas mikir, malas mencipta. Jadi ya ambil aja yang udah ada. Beres.
Dia nggak tau kali ya kalo dalam suatu proses kreatif itu ada yang namanya brainstorming. Dan brainstorming itu susah. Kenapa? Karena dalam proses brainstorming itu lo wajib mengeluarkan, menghasilkan, memproduksi ide yang seringnya harus original, alias lo kudu mikir.
Mikir, itu yang susah dan makan waktu.
Kalo cuma sekedar menolak atau menerima ide orang lain, itu mah gampang.. Ketika idenya udah ada, memodifikasi ide itu sehingga menjadi sesuatu yang kita inginkan itu juga masih tergolong gampang. Tapi coba deh ketika lo ada di posisi orang yang harus memberi ide. Beuh... Nggak semua orang bisa melakukan itu. Gue pernah berada dalam industri kreatif, gue sering nolak-nolakin ide orang, tapi gue sebisa mungkin mengusahakan untuk memikirkan solusi sebagai pengganti ide yang gue tolak. Ya karena itu, karena mikir itu nggak gampang.
Gue rasa si plagiator nggak punya pengetahuan tentang ini deh. Soalnya, seseorang yang mengetahui betapa kompleksnya proses kreatif pasti mampu menghargai hasil karya orang lain.
Ya... Kecuali kalo tadi itu, dia bermental Raja. Maunya disuapin, mencari yang udah ada, nggak mau menemukan sendiri, malas mencipta.
Contoh lain, orang-orang yang teriak-teriak lapangan pekerjaan susah, misalnya. Lagi-lagi itu kan terjadi karena mereka cuma mencari yang sudah ada. Dan dengan tingginya angka pengangguran jika dibandingkan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, terlihat kalo ternyata masih BANYAAAAK yang mentalnya hanya mencari, mencari dan mencari, dari segala tingkatan pendidikan mulai dari yang nggak tamat SD sampe yang udah lulus S2. Kenapa nggak berpikir untuk menciptakan lapangan kerja? Nggak punya pengetahuan tentang itu? Ya cari tau, bukan marah-marah nadah tangan ngomong "Lo kira bikin lapangan kerja nggak butuh modal? Sini gue mau usaha sendiri bikin lapangan kerja, lo mau ngasih gue modal berapa?".
Ini nih.
Emang sih yang namanya "lapangan" itu kesannya luas ya, gede, gitu. Tapi sebenernya lo nggak selalu butuh modal gede untuk menciptakan suatu lapangan kerja, atau memulai usaha. Hari gini, segampang lo modal HP dan pulsa aja--yang gue yakin setiap insan di muka bumi Indonesia ini mungkin udah punya--lo udah bisa usaha sendiri. Usaha apa? Jadi dropshipper. Dengan lo jadi dropshipper, lo nggak perlu modal gede, karena dropshipper berbeda dengan reseller yang harus membeli dulu barang-barang dimuka sebelum dijual kembali ke customer. Dropshipper cukup meminta supplier untuk mengirimkan barang langsung ke customer. Gampang kan? Modalnya beneran cuma HP, pulsa, sama doa deh semoga supplier lo amanah. Kalo enggak ya siap-siap aja lo dikejar-kejar customer pake parang.
Beresiko?
Ya iya. Modal minim kok mau enaknya doang.
Kalo lo punya hard skill yang bisa lo manfaatkan malah lebih oke lagi. Skill itu bisa lo jual. Misal, lo jago bikin website, atau jago mendesain poster, atau jago ngedit video, lo tinggal 'ngiklan' terima order, dan tunggu orderan datang. Nunggunya sambil berdoa juga semoga lo dijauhkan dari keluarga ataupun teman-teman yang nggak bisa menghargai kerja keras lo dan malah hobi minta diskon atau harga teman tiap kali bikin order (minta, ya, catet, bukan lo ngasih, kalo lo-nya yang mau ngasih harga sodara atau harga teman sih itu udah beda cerita). Kalo lo males jual diri sendiri? Ya minta tolong lah sama temen lo kek atau siapa untuk ngejualin lo, tinggal kasih dia komisi sepuluh persen juga udah oke.
Indeed, yang namanya usaha sendiri itu nggak mudah, emang. Nggak ada kepastian lo akan selalu dapat pemasukan secara berkala, lo bahkan harus siap merugi di awal-awal demi mempertebal portofolio, misalnya. Cuma ya namanya kerja, mau lo kerja apa kek, pasti selalu ada enak dan nggak enaknya. Pinter-pinternya diri lo sendiri aja memanage usaha lo supaya yang nggak enak-nggak enak itu bisa lo minimalkan kalopun nggak bisa lo hilangkan.
Jadi, menciptakan lapangan kerja dan memulai usaha sendiri itu bisa?
Bisa.
Memang nggak mudah, tapi bukan berarti nggak bisa.
Yang mudah itu, lo bernapas aja duit terbang-terbang nyamperin lo.
Itu tadi contoh-contoh mental Raja yang udah akut sih. Ada juga mental Raja yang masih dalam tahap intermediate alias belum begitu akut, tapi masih sama, sama-sama mau enak usaha kurang.
Contoh kasusnya?
Orang beli mobil, tapi nggak punya garasi, jadi mobilnya diparkir di pinggir jalan sehingga mengganggu ketentraman negera api. Ada juga orang yang beli mobil atau motor, tapi pas harga bensin atau tarif tol naik dia ngomel-ngomel, memaki pemerintah. Yang lain? Rumah pake AC, mesin cuci satu tabung, punya kulkas gede dua pintu, tapi pas tarif listrik naik dia marah-marah tetep, memaki pemerintah.
Terus update status deh di FB dengan kata-kata udah kaya orang yang paling teraniaya sekolong langit.
Nah, orang-orang yang kaya gini perhitungannya sih yang kurang.
Eh iya, perhitungan itu juga usaha lho, usaha preventif.
Eniwei, buat gue, orang-orang kaya gini sebenernya adalah orang-orang yang nggak mampu.
Nggak mampu mikir.
Ketika lo beli mobil, jangan diliat belinya doang. Lo juga harus pikirin tempat naronya gimana biar nggak ganggu orang, biaya perawatannya, biaya bensinnya, tolnya, dan lain lain.
Ketika lo beli AC, mesin cuci dll juga gitu, jangan cuma mampu belinya doang, pikirin juga kalo lo harus bayar biaya listriknya, kebutuhan lo yang lain masih akan tercukupi nggak?
Jadi lo ngelarang orang-orang buat beli-beli barang gitu, Ay? Mereka kan juga punya hak dong buat ngerasain angin dingin AC di hari yang panas, nyaman pergi-pergi naik mobil tanpa kehujanan...
Kagak, ye. Gue nggak ngelarang. Silakan kalo mau tetap memaksakan diri, tapi kalo nanti ada yang protes atau berita kenaikan tarif blabliblu ya udah nggak usah marah-marah... Pengen enak kok nggak mau keluar duit lebih.
Lucunya, orang-orang yang bener-bener mampu (baik secara material maupun mental), ketika ada kenaikan tarif dll, mereka justru langsung mikirin alternatif apa yang bisa dipake untuk menggantikan naik mobil pribadi, atau gimana biar mereka bisa mengurangi pemakaian listrik. Mereka nggak koar-koar update status playing victim nyalahin pemerintah, tapi nyari solusi. Walhasil, ada yang lalu beralih naik transjakarta atau ojek online, ada yang cuma nyalain AC kalo siang hari terus malemnya buka jendela, ada yang nyuci pake mesin cucinya cuma seminggu dua kali, sisanya ngucek pake tangan, dll. Yang begini ini yang mau gue apresiasi, mereka-mereka yang punya mentalitas orang mampu.
Terakhir, kasus mental Raja yang paling ringan mungkin adalah orang-orang yang suka gonta-ganti simcard demi mendapatkan bonusan dan segala manfaat cokelat, dan ketika itu sudah sulit mereka lakukan karena sekarang udah ada sistem registrasi terpusat, mereka marah-marah nyalahin pemerintah yang membuat mereka tak lagi bisa menikmati internet murah berkuota seluas samudra.
Astaga.
Men.
Lo pake buat apa sih internet itu?
Kalo cuma sekedar buat youtube-an yang nggak butuh-butuh amat atau download film ilegal buat koleksi pribadi ya udahlah nggak usah protes, malu keleus. Kalo tetep mau internetan gampang dan gratis usaha dikit jalan kaki ke McD atau Starbucks terdekat, beli minuman paling murah, nah lo nongkrong deh di situ semaleman suntuk. Malu? Nggak dong ya, ngomel ke pemerintah soal kebijakan yang katanya ngeribetin ini aja lo nggak malu, kalo cuma nongkrong semaleman suntuk mah apalah artinya yekan...
Intinya, orang-orang bermental Raja itu emang ada dan mungkin mereka berada di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita juga termasuk? Jangan-jangan gue juga termasuk?
Yah, gue mah berdoa aja lah semoga gue dan orang-orang yang gue kenal nggak termasuk orang-orang bermental susah maju kaya gini, dan semoga mentalitas yang kaya gini lekas menghilang dari muka bumi.
Cheers!
No comments:
Post a Comment