Wednesday, 9 May 2018

Seimbang Dunia-Akhirat, Justru itu yang Islam Ajarkan

Hari Sabtu kemarin, gue dan Pillow bersilaturahim dengan keluarga besar Pillow. Setelah ziarah, schedule selanjutnya adalah pengajian yang diisi oleh Bapak Ustadz Sofwan Jauhari. Temanya menarik dan kajiannya menurut gue eye-opening, yaitu tentang memaknai keseimbangan dunia dan akhirat.

Ini gue rangkum ya pembahasan kemarin. Kurang lebihnya monmaap. Udah agak-agak lupa soale udah beberapa waktu berlalu, tapi mudah-mudahan nggak ada yang melenceng terlalu jauh.

Jadi, untuk meraih keseimbangan antara dunia dan akhirat yang hakiki, kita perlu memahami dan melakukan beberapa hal.


Pertama, menjadikan akhirat sebagai landasan atau tujuan dalam menjalankan sesuatu, karena seperti yang juga seing disampaikan Pillow ke gue, ketika kita menjadikan akhirat sebagai tujuan, insyaAllah urusan dunia juga akan ikut beres, tapi kalau kita hanya menyasar dunia, akhiratnya belum tentu beres, malah bisa jadi morat-marit. Tapi pemahaman soal ini nggak berhenti sampe di sini, melainkan harus dipecah lagi menjadi beberapa butir, salah satunya adalah menyeimbangkan antara hukum dengan akhlak.

Kalo seperti yang dicontohkan Pak Ustadz, kita nggak bisa semata-mata berpedoman pada hukum saja ketika melaksanakan sesuatu, tapi harus mengkaji juga apakah itu pantas atau nggak dari segi akhlak. Misalnya, buat para cowok, adalah shalat dengan menggunakan celana tukang sate only, yang menutupi dari sebatas pusar hingga bawah lutut. Secara hukum, shalatnya sudah sah, karena emang aurat cowok kan ya dari pusar sampai lutut. Tapi secara akhlak, itu kan nggak pantes. Makanya, jangan dilakukan ketika masih bisa tidak lakukan, berpakaianlah secara baik, secara pantas, saat lo mau shalat. Baru ketika dihadapkan pada situasi darurat, misal lo-lo yang cowok nggak punya baju sama sekali karena bencana alam atau kecelakaan terus stranded di pulau tak berpenghuni, nah pada shalat deh dengan tampilan yang begitu, nggak apa-apa.

Contoh lain dari Pak Ustadz adalah dalam hal berumah tangga. Ketika seorang anak laki-laki menikah tanpa restu dari orang tuanya, atau tanpa sepengetahuan orang tuanya, secara hukum pernikahannya tetap sah, tapi secara akhlak dia jadi anak durhaka karena mengecewakan atau mungkin jadi menyakiti hati orang tua dengan sikapnya itu.

Masih dalam hal rumah tangga, contoh berikutnya adalah jangan menjalankan rumah tangga semata-mata berlandaskan dengan hukum, karena kalo cuma berlandaskan hukum, sebenarnya yang wajib menafkahi istri (dalam beberapa penafsiran termasuk mengurus rumah dan memasak) adalah suami, dan dalam rumah tangga di Arab sana, katanya Pak Ustadz, ini dijalankan. Tapi kenapa istri yang terus jadi 'melayani' suami? Kenapa jadi istri yang memasak, mengurus rumah, mencuci dll? Untuk mencari ridho suami, karena sebagaimana yang sering disebut-sebut juga oleh banyak penceramah, ridho suami adalah segala-galanya buat istri, dan seorang istri kalo mau masuk surga itu gampang syaratnya: suaminya ridho. Sekian.

Enak amat ya gue jadi istri orang.
Wwkwkwkwkwk.

Lagian, logika gue, kasian amat para suami yang udah bekerja banting tulang seharian kalo masih disuruh masak dan ngurus rumah. Beda yes kalo suaminya kerjanya cuma ongkang-ongkang sementara si istri yang ngurus rumah dan nyari nafkah, itu baru suaminya minta digampol.

Nah, poin ini nih, kebetulan nyambung sama sesuatu yang selama ini gue ributin dan ribetin.
Yep, nikah muda.  Enggak, gue benerin deh, nikah tanpa kesiapan.

Kalo kita mengkaji dari contoh yang diberikan Pak Ustadz tentang anak laki-laki yang menikah tanpa restu orang tua, bukan berarti kita akan terlepas dari dosa lainnya meskipun kita menjalankan sesuatu sesuai dengan hukumnya. Iya, nikahnya sah, tapi dosa juga dia karena durhaka, bikin ibunya nangis-nangis, kecewa dengan keputusannya. Well? Ini juga yang gue maksud ketika suatu pernikahan dilandaskan hanya dengan "Daripada zina" tanpa ada kesiapan lain-lain. Iya, mungkin lo terhindar dari dosa zinanya, tapi itu nggak bikin lo terhindar dari dosa karena lalai sebagai imam keluarga, atau lalai sebagai istri, atau lalai sebagai orang tua. Itu udah jelas banget ya term & conditionnya, kalo masih ada yang gagal paham sama penjelasan gue yang sangat sederhana ini entah deh, mungkin gue harus belajar ngobrol dulu sama terong, amuba, teripang, timun laut atau crustaceae.

Next.

Kedua, keseimbangan yang kedua dimaknai sebagai sama-sama bersemangat dalam menjalankan urusan akhirat dan dunia. Kalau menurut Pak Ustadz, para sahabat nabi dulu itu hidupnya malam bagai pendeta, siang bagai joki kuda, alias ketika malam digunakan untuk memaksimalkan doa dan dzikir, sementara siangnya mereka bekerja keras banting tulang untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Keduanya dijalankan dengan semangat yang sama besar, tanpa mengabaikan salah satunya.

Contoh yang mengabaikan salah satunya, misalnya, adalah ketika seorang karyawan menjalankan ibadah shalat dhuha di waktu yang harusnya ia gunakan untuk bekerja (sesuai pertanyaan papanya Pillow nih). Menurut Pak Ustadz, seharusnya kalo mau shalat dhuha ya dilaksanakan sebelum jam masuk kantor, apalagi di Indonesia mulai dari jam setengah 7 kita sebenernya udah bisa shalat dhuha. Kenapa? Karena ketika waktu bekerja mulai, kewajiban kita sebagai karyawan harus lebih diutamakan daripada ibadah yang sunnah (apalagi yang sunnah ini sebenernya waktunya bisa kita atur supaya nggak ganggu yang wajib).

Why?
Kembali ke pemaknaan akhirat sebagai tujuan akhir tadi. Ketika kita bekerja dan niatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan mencari nafkah, misalnya, itu berarti kerja kita kan jadi ibadah juga. Begitu pula saat kita sekolah, atau kuliah, semua yang kita jalankan itu jadi ibadah. Dan ibadah 'wajib' ini, posisinya lebih kuat dibandingkan dengan yang sunnah.

Ibaratnya, ini kasus diambil dari pertanyaan Pakde Heriyanto, kaya kita mau shalat isya dan shalat tahajjud. Mending kita tidur dulu terus bangun untuk isyaan sekalian shalat tahajjud, atau shalat isya dulu tapi dengan resiko bablas ketiduran dan akhirnya nggak shalat tahajjud? Jawabannya, menurut Pak Ustadz, adalah isya dulu, karena Isya termasuk yang wajib. Nggak apa-apa kalo nanti akhirnya nggak shalat tahajjud karena kebablasan. Tapi coba kalo kita tidur dulu meninggalkan isya, terus ternyata nauzubillah kita ditakdirkan nggak bangun lagi? Shalat wajib kita jadi ada yang ketinggalan, karena kita lebih mengutamakan sunnah.

Jadi sebenernya, sepenting-pentingnya akhirat, kita juga diimbau untuk mengejar dunia. Kejar dunia, kejar akhirat, jangan kejar dunia dan mengabaikan akhirat, atau mengejar akhirat dan mengabaikan dunia.

Mantep dah.

Ketiga, yang menjadi puncak keseimbangan, menurut Pak Ustadz, adalah ketika seseorang sudah mampu menyisihkan sepertiga hartanya untuk dibawa mati. Artinya, ketika seorang mempunyai satu bagian penuh harta, hendaknya ia menyisihkan 1/3-nya untuk menunaikan zakat, bersedekah, naik haji dll, karena harta itulah yang kelak nanti akan menjadi modal dan tabungannya di akhirat.

Jadi, ternyata "harta nggak dibawa mati" itu salah, sodara-sodara.
Wkwkwkwk.

Tapi bukan berarti semua harta yang kita punya harus disedekahin, katanya. Gue agak lupa cerita lengkapnya, tapi Pak Ustadz mencontohkan, ketika ada seseorang yang sangat kaya mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya "Saya ingin menyedekahkan seluruh harta saya.", Rasulullah menjawab, "Jangan." dan hanya mengimbau untuk menyedekahkan sepertiganya, sementara dua pertiganya diwariskan untuk anak dan cucunya, agar kehidupan mereka terjamin dan layak.

Nah, tuh.
Lagi-lagi, memikirkan akhirat bukan berarti kita mengabaikan orang-orang terdekat kita. Rajin sedekah kalo anak istri kelaparan juga nggak bener.

Jadi, intinya, yang namanya hidup itu harus seimbang. Dunia dan akhirat. Jadikan akhirat sebagai tujuan, tapi jangan berhenti di pemahaman itu doang. Begitu pula dalam memaknai hal-hal lainnya, nggak bisa cuma berhenti pada satu rujukan itu doang, kita harus mengkaji secara luas, karena seringkali rujukan itu hasil dari proses menggabungkan beberapa kajian. Dan, dalam melaksanakan sesuatu, jangan selalu berpedoman pada hukum aja, liat juga dari segi akhlaknya.

Kaya itu tuh, pencurian desain yang lalu. Oke mungkin dari segi hukum dia nggak bersalah karena desain tersebut nggak legally terdaftar, tapi dari segi moral?
Ya... Saya kira semua orang sudah tau jawabannya...

Eh, ini tumben-tumbenan gue ngepost sesuatu yang bener dan manfaat.
Mudah-mudahan bermanfaat juga buat lo-lo semua yang kebetulan nyasar ke sini dan membaca ini.

Cheers!


No comments:

Post a Comment